Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat di seluruh dunia dalam menghadapi wabah pandemik Covid-19 adalah vaksin. Strategi lockdown yang diterapkan oleh berbagai negara di dunia sebenarnya hanyalah berupaya “memperlambat” transmisi virus sehingga tidak terjadi lonjakan pasien kasus positif yang akan membuat paramedis kewalahan dalam melakukan perawatan dan pengobatan di fasilitas-fasilitas rumah sakit yang juga terbatas.
Mengacu kepada draft landscape COVID 19 vaccine yang dipublikasikan oleh WHO per 11 April 2020, ada sekitar 70 lembaga/institusi/perusahaan farmasi di seluruh dunia yang saat ini berpacu untuk menemukan kandidat vaksin Covid-19 . Empat di antaranya yang paling awal masuk tahapan uji klinis adalah Moderna/NIAID, CanSino Biological inc./Beijing Institute of Biotechnology, Inovio, dan Jenner Institute/Oxford Vaccine Group, University of Oxford.
Dalam “General Discussion” yang dihelat oleh PPI Oxford, Sabtu, 18 April 2020 pukul 11.00 am – 1.00 pm waktu UK bertajuk “Covid-19 Pandemic and Update on Vaccine”, Indra Rudiansyah mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan D.Phil in Clinical Medicine, Jenner Institute, University of Oxford menjelaskan lebih jauh tentang keberhasilan Jenner Institute dalam penemuan vaksin Covid-19.
“Vaksin yang diteliti oleh para periset di Jenner Institute menarget spike protein yang menjadi kunci utama dari virus sars-cov-2 untuk menempel di inang. Riset ini menggunakan jenis adenovirus yang biasa ditemukan di Chimpanze untuk menghindari adanya immunitas dari tubuh manusia terhadap adenovirus yang digunakan sebagai media penghantar vaksin untuk covid-19.”
Vaksin yang dikembangan oleh Jenner Institute telah melewati pre clinical testing  dan akan memasuki uji klinis fase 1/2 pada bulan April 2020. Masih ada tahapan uji klinis fase 3 sebelum akhirnya vaksin ini bisa di-licensed dan seterusnya diproduksi massal.
Pembicara kedua, Kartika Saraswati – mahasiswi D.Phil in Clinical Medicine, Nuffield Department of Medicine, University of Oxford, banyak memaparkan tentang penanganan kasus Covid-19 di Indonesia.
“Persoalan penting yang dihadapi oleh Indonesia sekarang adalah tentang angka yang pasti terkait kasus positif corona. Masih relatif rendahnya kasus harian baru di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh kurang luas dan massif-nya tes swab yang dilakukan.”
Beberapa kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI sebenarnya sudah berusaha untuk mendatangkan mesin PCR yang diimpor dari luar negeri untuk mempercepat proses uji laboratorium dalam menentukan seseorang positif atau negatif Covid-19.
“Meskipun rapid test yang berdasarkan pada reaksi imun tubuh memiliki tingkat sensitivitas yang rendah, namun rapid test masih dapat digunakan dalam penyelidikan epidemiologi setelah fase akut penyakit,” tutur Kartika.
Kecepatan mesin PCR yang baru dibeli dan mesin yang sudah dimiliki oleh beberapa rumah sakit serta berbagai laboratorium perguruan tinggi masih terkendala dengan ketersediaan “reagen”, bahan kimia yang dipakai dalam proses PCR untuk mendeteksi sampel yang diambil.
Adapun untuk riset ilmiah terkait upaya penemuan vaksin di Indonesia masih belum tampak.
“Laboratorium rujukan di Indonesia sekarang masih disibukkan dengan proses pengujian tes swab PCR,” jelas Kartika.
Pemerintah sendiri lewat Kemenristek/BRIN berkomitmen mengucurkan dana sebesar Rp. 41,24 miliar untuk riset Covid-19 yang nantinya akan diampu oleh konsorsium yang terdiri dari Pusat Riset Virologi, LIPI, Universitas, dan Perusahaan Farmasi.
(Reporter: Anggun Gunawan)